inspirasi

Upacara Tiwah, Tradisi Suku Dayak untuk Mengantarkan Arwah

Penulis:   | 

Suku Dayak adalah suku tertua di Kalimantan Tengah yang memiliki banyak kebudayaan dan ritual khusus. Sampai saat ini, kebudayaan dan ritual yang beragam di sana masih dilestarikan oleh Suku Dayak.

Salah satunya adalah upacara Tiwah, yaitu upacara mengantarkan roh leluhur yang telah meninggal dunia ke surga (lewu tatawu).

Upacara ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2014 yang lalu.

Bagi masyarakat Suku Dayak yang menganut kepercayaan Hindu Kaharingan, upacara ini memiliki banyak makna salah satunya adalah sebagai tanda bakti kepada leluhur.

Kematian, menurut mereka, adalah hal yang perlu disempurnakan dengan upacara sehingga roh yang telah meninggal dapat hidup tentram bersama Ranyin Hatalla (Yang Maha Kuasa).

Baca juga: Sepak Bola Api, Permainan Ekstrem yang Populer di Pesantren

Upacara Tiwah memiliki prosesi yang cukup panjang

Mengenal Upacara Tiwah, Tradisi Suku Dayak untuk Mengantarkan Arwah

(foto: kompas)

Upacara Tiwah adalah ritual dalam budaya Dayak yang identik dengan kematian. Tujuannya adalah agar keluarga yang ditinggalkan terlepas dari berbagai macam kesialan.

Tidak hanya itu, ritual Tiwah juga digunakan sebagai pelepas status janda atau duda dari pasangan yang ditinggalkan.

Dengan begitu, mereka bisa bebas memilih apakah tidak akan menikah lagi atau mencari pasangan hidup yang baru.

Upacara Tiwah merupakan upacara yang memiliki banyak tahapan. Tidak tanggung-tanggung, keseluruhan prosesnya dapat berlangsung mulai dari 7 hari sampai dengan 40 hari.

Proses yang panjang diawali dengan pendirian tempat bernama balai nyahu atau tempat penyimpanan tulang belulang para leluhur yang telah dibersihkan oleh pihak keluarga.

Selanjutnya, keluarga juga membuat anjung-anjung atau bendera kain untuk jenazah yang akan segera ditiwahkan.

Mengantar arwah leluhur dengan suasana yang penuh suka cita

Mengenal Upacara Tiwah, Tradisi Suku Dayak untuk Mengantarkan Arwah

(foto: nationalgeographic)

Proses upacara dilanjutkan dengan tahapan Tabuh I, II, dan III di mana tulang belulang yang sudah dibersihkan dimasukan ke balai nyahu oleh pihak keluarga.

Tahapan ini dikenal riskan karena di sinilah para roh leluhur mulai diantarkan ke lewu tatau.

Seluruh proses Tabuh biasanya berlangsung selama tiga hari. Berikutnya keluarga akan melakukan tarian Manganjan sambil mengelilingi sangkai raya dan sapundu dengan suasana yang riang dan penuh suka cita karena roh leluhur mereka telah naik ke surga.

Sangkai Raya adalah tempat di mana anjung-anjung juga persembahan untuk Ranying Hatallah berada. Sementara itu, Sapundu merupakan patung yang berbentuk manusia.

Sapundu kemudian digunakan untuk mengikat hewan-hewan yang akan dikurbankan seperti ayam, sapi, kerbau, atau babi.

Baca juga: Silsilah Prabu Angling Dharma, Lahir Setelah Perang Saudara

Biaya yang dikeluarkan untuk upacara bisa mencapai ratusan juta

Mengenal Upacara Tiwah, Tradisi Suku Dayak untuk Mengantarkan Arwah

(foto: adira)

Hewan-hewan yang dikorbankan akan ditusuk menggunakan tombak sampai mati oleh anggota keluarga. Yang menjadi penombak pertama adalah orang tua di silsilah keluarga yang berkepentingan.

Masyarakat Suku Dayak percaya bahwa cucuran darah hewan yang dikurbankan dapat menyucikan roh yang telah meninggal.

Setelah mati, kepala hewan kurban dipenggal lalu dikumpulkan untuk makanan para roh. Sedangkan dagingnya dimasak untuk dikonsumsi bersama-sama.

Karena banyaknya prosesi, maka upacara Tiwah terkenal membutuhkan dana yang sangat besar. Tidak tanggung-tanggung, biaya yang dikeluarkan berkisar antara 50-100 juta.

Karenanya, upacara ini biasanya tidak hanya dilakukan untuk mengantarkan satu jenazah akan tetapi puluhan jenazah yang berasal dari berbagai desa.

Para wisatawan tertarik untuk menyaksikan kemeriahannya secara langsung

Tradisi Suku Dayak untuk Mengantarkan Arwah

(foto: kumparan)

Setidaknya ada tiga catatan yang dapat membuktikan kemeriahan atau kebesaran upacara Tiwah.

Pertama, catatan Antropolog Anne Schiller yang menerangkan setidaknya ada 89 jenazah dalam upacara Tiwah yang digelar di wilayah Petah Putih, tepi sungai Katingan pada tahun 1996.

Lalu pada tahun 2002, Vida Pervaya Rusianti sebagai peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Banjarmasin mencatat 35 keluarga di desa Pandahara melakukan upaca Tiwah.

Lalu tahun 2016, ada 77 jenazah dari 46 keluarga yang menggelar upacara ini.

Dengan kemeriahan seperti itu, tidak heran jika upacara Tiwah sangat menarik bagi wisatawan lokal maupun internasional.

Namun ternyata, jika ingin menyaksikan upacara ini secara langsung, wisatawan harus memperhatikan sejumlah pantangan.

Pantangan tersebut biasanya melarang wisatawan membawa sayuran, jenis hewan, dan jenis ikan tertentu ke lokasi upacara. Jika dilanggar, maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi adat Tiwah dari masyarakat Suku Dayak.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.