inspirasi

Menelusuri Passiliran, Pemakaman Bayi dalam Pohon di Toraja

Penulis:   | 

Masyarakat Toraja terkenal memiliki tradisi pemakaman unik yang berbeda dari yang yang lainnya, contohnya adalah tentang pemakaman bayi yang disebut dengan passiliran.

Di Toraja, proses pemakaman biasanya dilakukan dengan prosesi adat yang megah. Selain itu, ada tempat khusus untuk menempatkan orang-orang yang sudah meninggal.

Bagi orang dewasa, biasanya jasad akan ditempatkan di sebuah pusara yang terdapat di tebing atau gua, sedangkan untuk jasad anak kecil akan ditempatkan dalam peti lalu digantungkan di sisi tebing.

Sementara jenazah bayi disimpan pada batang pohon besar, yang dikenal dengan Tarra.

Baca juga: Mengenal Rumput Fatimah, Sempat Viral untuk Lancarkan Persalinan

Passiliran menjadi salah satu kepercayaan peninggalan leluhur masyarakat Toraja

Menelusuri Passiliran, Pemakaman Bayi dalam Pohon di Toraja

(foto: guideku)

Di Toraja, ada prosesi pemakaman bayi yang unik dan hanya dilakukan oleh penganut Aluk Todolo atau kepercayaan terhadap leluhur. Dalam bahasa Toraja, proses pemakamannya disebut juga sebagai passiliran.

Pohon Tarra yang menjadi lokasi pemakaman tidak dipilih secara sembarangan.

Selain memiliki diameter yang besar (sekitar 80-120 cm), masyarakat juga percaya bahwa getah pohon Tarra yang banyak serta berwarna putih dapat menjadi pengganti Air Susu Ibu atau ASI.

Karena itu menguburkan bayi di pohon ini dianggap sebagai proses pengembalian bayi ke dalam rahim ibunya. Setiap lubang kuburan yang telah digunakan akan menutup dengan sendirinya setelah 20 tahun.

Proses pemakaman bayi di pohon ternyata memiliki alasan khusus

Menelusuri Passiliran, Pemakaman Bayi dalam Pohon di Toraja

(foto: indonesiakaya)

Dalam satu pohon dapat memuat lebih dari 10 anak bayi. Dengan kata lain, masyarakat tidak perlu mencari pohon baru atau menanam kembali yang menghabiskan lebih banyak waktu lagi.

Leluhur masyarakat Toraja zaman dulu percaya jika bayi yang belum tumbuh gigi dikuburkan seperti orang dewasa, jiwanya akan merayap seperti ular dan disambar oleh petir untuk diselamatkan. Karena itu, jenazah bayi harus dimakamkan secara khusus.

Dalam tradisi Passilliran, biasanya pohon Tarra yang akan digunakan awalnya dilubangi dengan diameter sebesar ukuran tubuh bayi.

Setelah itu jenazah akan disimpan di dalam lubang tersebut tanpa dibungkus dan kemudian lubang ini ditutup menggunakan ijuk.

Baca juga: Perbedaan Hamper dan Parcel, Bikin Hari Raya Semakin Berkesan

Tidak boleh menebang pohonnya, karena bisa mempersulit perjalan bayi ke alam baka

Menelusuri Passiliran, Pemakaman Bayi dalam Pohon di Toraja

(foto: kumparan)

Lubang-lubang di pohon juga dibuat dengan memperhatikan arah tempat tinggal keluarganya. Jadi biasanya lubang akan menghadap ke  arah tempat tinggal orang tua si bayi.

Uniknya lagi, posisi lubang kuburan dapat ditentukan oleh kasta keluarga mendiang bayinya. Ini artinya, semakin tinggi kasta keluarganya dalam masyarakat, maka akan semakin tinggi letak lubang kuburannya di batang pohon.

Akan tetapi, ibu kandung dari bayi yang meninggal tidak dapat melihat proses penyimpanan jenazah anaknya dan tidak diperbolehkan melihat kuburan anaknya selama kurang lebih satu tahun.

Menurut kepercayaan nenek moyang masyarakat Toraja di masa lalu, melihat bayi yang sudah meninggal dapat menyebabkan sang ibu sedikit kesulitan mendapatkan bayi yang sehat di masa depan dan dianggap sebagai hal yang tidak pantas.

Dalam masyarakat Toraja juga terdapat larangan untuk menebang pohon Tarra. Jika sebuah pohon Tarra ditebang, maka si penebang dianggap telah memutus perjalanan si bayi menuju alam baka.

Maka pohon Tarra yang dilubangi itu, tetap hidup seperti pohon yang lain sampai saat ini.

Passiliran mulai ditinggalkan dan berubah menjadi destinasi wisata

Menelusuri Passiliran, Pemakaman Bayi dalam Pohon di Toraja

(foto: kumparan)

Saat ini ada dua wilayah yang terkenal karena tradisi passilliran, yaitu desa Sarapung dan Kambira. Pasilliran desa Kambira letaknya berada sekitar 9 km dari kota Makale, sementara Sarapung terletak sekitar 300m dari Kambira.

Sejak tahun 1970-an, saat agama masuk ke tanah Toraja, passilliran sudah tidak lagi digunakan untuk memakamkan bayi-bayi.

Kemudian pohon-pohon yang dulunya dijadikan tempat penyimpanan jenazah bayi, sekarang berubah menjadi destinasi wisata.

Destinasi wisata dengan harga tiket masuk sekitar 10ribu ini memberikan spot berfoto yang menarik. Banyaknya pohon bambo yang tumbuh alami memberikan kesan yang sama dengan wilayah Arashiyama, Jepang.

Selain itu, selayaknya destinasi wisata lainnya, di Kambira dan Sarapung juga terdapat berbagai macam cendera mata.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.