inspirasi

Kisah Kapal Padewakang, Tanpa Mesin Mampu Berlayar ke Australia

Penulis:   | 

Kapal Padewakang adalah salah satu jenis kapal tradisional kebanggaan Indonesia yang asalnya dari Sulawesi Selatan. Kapal ini bisa ditemukan di kawasan pelabuhan Pautere, kota Makassar.

Nama padewakang atau paduwang mencerminkan ukurannya yang kecil tapi tangguh. Akar katanya dari bahasa Austronesia; wa, waga, wangka, wangga, serta bangka. Menurut Adrian Horridge dalam The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia (1985), istilah tersebut diasosiasikan pada perahu kecil atau perahu bercadik.

Tapi di sumber lain dari Adrian Horridge dalam buku Sailing Craft of Indonesia (1986) menyebutkan bahwa kapal dagang Bugis ini berukuran besar, digunakan pada abad ke-19, dibuat dengan dua atau tiga tiang layar, berlayar persegi, dan berhaluan tinggi.

Berikut ini adalah beberapa hal unik yang kita temukan pada kapal Padewakang.

Baca juga: Sejarah Harem, Tempat Tinggal Selir Sultan Turki di Masa Lalu

Daftar isi

Merupakan cikal bakal kapal pinisi

Uniknya Kapal Padewakang, Berlayar ke Australia Tanpa Mesin

(foto: unesco)

Sebagian besar orang memang lebih mengenal nama kapal Pinisi daripada Padewakang. Bahkan ada yang belum pernah sama sekali mendengar kabar tentang padewakang. Padahal, Padewakanglah yang kemudian berevolusi jadi pinisi.

Memang kapal ini tidak terlalu besar pada awalnya, tapi ada riwayat sejarah besar dalam pelayarannya ke negeri seberang, khususnya  untuk mendukung aktivitas perdagangan.

Membawa misi perdagangan dan akulturasi budaya

Uniknya Kapal Padewakang, Berlayar ke Australia Tanpa Mesin

(foto: pinterest)

Kapal Padewakang, yang mirip dengan sebuah relief kapal di Candi Borobudur itu, sudah pernah ke seluruh wilayah lautan Indonesia. Sejak abad 19, Padewakang juga sudah mulai berlayar hingga jauh ke Australia.

Kapal Padewakang yang dimiliki para pedagang Makassar, Mandar, dan Bugis menaklukkan lautan dari Papua sampai Semenanjung Malaya.

Sampai ada suatu sumber literatur kuno beberapa abad silam yang menggambarkan Perahu Padewakang sebagai ‘perahu bajak laut dari Sulawesi’.

Pelayarannya tidak terlepas dari perdagangan dan akulturasi budaya. Mulai dari perdagangan cengkeh, emas, sampai budak. Melalui Padewakang juga, agama Islam datang di Australia.

Baca juga: 10 Jenis Tanaman Air yang Bikin Kolam Ikan Cantik & Bersih

Hanya mengandalkan kekuatan angin

 Berlayar ke Australia Tanpa Mesin

(foto: lionmag)

Kapal Padewakang yang menguasai perdagangan antar pulau ini diciptakan sedemikian rupa tanpa mesin. Baik Padewakang yang berjaya pada abad 15-19, maupun kapal Padewakang baru yang dibuat pada tahun 2019, keduanya sama-sama hanya mengandalkan kekuatan angin.

Sebelum dibawa berlayar ke Australia, kapal ini dibuat secara khusus oleh spesialis kapal kayu di Tana Beru, Bulukumba dengan komando Haji Usman.

Kapal Padewakang selesai dibuat selama 6 bulan. Ukurannya 14,5 x 4,2 m persegi, tingginya 2 m dan bahan baku utamanya adalah kayu bitti. Ini adalah bahan yang sama dengan kapal Pinisi. Begitu rampung dibuat, kapal Padewakang kini dibawa ke Pantai Losari, Makassar.

Rombongan mengambil start di Pantai Losari sekaligus bersamaan dengan datangnya angin muson barat yang menggerakkan kapal dari Makassar menuju ke Selayar, Kemudian mereka masuk ke Laut Flores di barat Maumere, singgah di Saumlaki (Kepulauan Tanimbar).

Pada tanggal 23 Januari 2020, ekspedisi Padewakang dilepas dari Saumlaki dan melanjutkan perjalanan untuk menyeberang ke Australia. Mereka menyeberang menuju ke Darwin, teritori utara di Australia.

Napak tilas budaya dan persahabatan dengan Australia

 Berlayar ke Australia Tanpa Mesin

(foto: newmandala)

Terhitung total 48 hari sejak berangkat, ekspedisi Padewakang tiba di Cullen Bay Marina, Darwin, Selasa (28/1) malam hari.

Terlepas dari cerita keberhasilan ekspedisi tersebut, ada hubungan budaya yang erat antara Makassar dan leluhur bangsa Australia, Suku Aborigin. Ekspedisi itu bisa juga terlaksana karena napak tilas budaya.

“Kapal Padewakang ini adalah salah satu kapal tradisional yang kemudian berkembang sebagai asal muasal kapal pinisi, tidak ada alat modern kecuali handphone atau telepon genggam. Mereka menggunakan listrik dari solar sel khusus untuk mengisi baterai, memakai lampu teplok dan tembikar untuk keperluan sehari-hari. Hari ini kita akan lepas kapal ini yaitu dalam rangka untuk memperkuat kembali budaya maritim dan persahabatan dengan masyarakat Australia.” Seperti yang disampaikan Plt. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Safri Burhanuddin.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.