inspirasi

Kisah Angling Dharma, Dikenal Masyarakat Sejak Zaman Majapahit

Penulis:   | 

Cerita Angling Dharma adalah salah satu serial televisi legendaris di Indonesia. Para penonton televisi Indonesia sudah menyaksikannya selama bertahun-tahun.

Mulai dari orang dewasa sampai anak-anak tidak asing dengan namanya. Sejak ditayangkan tahun 2000-2005, serial laga ini meraih penghargaan di beberapa festival film.

Karakternya memang sangat melekat di benak penontonnya, sehingga ada beberapa daerah yang ditandai sebagai petilasan sampai makamnya.

Bukan hanya cerita serial laga, tapi konon ia juga pernah hidup di dunia nyata.

Baca juga: Sejarah Air Minum Kemasan, Dulu Dianggap Aneh di Indonesia

Angling Dharma sempat mendapat kesaktian sekaligus banyak ujian karena kutukan

Kisah Angling Dharma, Dikenal Masyarakat sejak Zaman Majapahit(foto: popmagz)

Legenda Angling Dharma diawali dengan anugerah kesaktian Aji Ginem untuk memahami bahasa binatang.

Kekuatannya didapat dan telah berjasa untuk menyelamatkan Baginda Nagaraja yang merupakan gurunya.

Tapi karena ingkar janji setia pada pasangan, ia harus menerima hukuman pembuangan untuk waktu yang sangat lama.

Dalam hukuman pembuangan, ia ternyata bertemu dengan tiga putri Merusupadma yang bernama Kenanga, Cempaka, dan Kantil.

Pertemuan yang tidak terduga ternyata mengawali cerita romansa sosok Angling Dharma yang mewarnai kehidupannya sampai akhir.

Padahal awalnya tiga putri Merusupadma cenderung memusuhi tapi akhirnya berhenti, menyerah, dan menjadi istrinya.

Suatu hari karena ada konflik, ia dikutuk oleh ketiga istrinya jadi burung meriwis. Setelah berubah jadi burung, ia justru bisa pergi dari hutan dan terbang ke daerah Bojanagara.

Kesaktiannya masih ada, lalu ia pun kembali jadi manusia dan memimpin kerajaan.

Sebagian orang meyakini bahwa kisahnya memang pernah ada dalam sejarah

Kisah Angling Dharma, Dikenal Masyarakat sejak Zaman Majapahit

(foto: gurupendidikan)

Diceritakan bahwa ia sempat bertahta di Kerajaan Malawapati. Untuk sebagian orang yang meyakini, kisahnya bukan sekadar legenda, begitu juga lokasi kejadiannya.

Di beberapa daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, diyakini bahwa ia pernah hidup di masa lalu.

Seperti di Pati, Jawa Tengah ada sebuah makam tua yang disebut tempat peristirahatan terakhirnya.

Lokasinya di Desa Mlawat, Kecamatan Sukolilo. Nama Desa Mlawat dianggap berasal dari nama Kerajaan Malawapati.

Sekitar 2 km di Desa Kedung Winong diyakini ada makam seorang Patih Batik Madrim, yang merupakan tokoh dalam legenda.

Bukan hanya di daerah Pati, tapi di Bojonegoro pun ada Situs Mlawatan yang juga dipercaya pernah menjadi petilasan Angling Dharma.

Baca juga: Mitos Daun Basil, untuk Keberuntungan Hidup dan Umur Panjang

Ternyata kisahnya sudah dituturkan sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit

Kisah Angling Dharma, Dikenal Masyarakat sejak Zaman Majapahit

(foto: indonesiaexpat)

Kisahnya memang mendorong daerah tertentu untuk mengklaim setting-nya, misalnya daerah yang disebut sebagai Negara Boja, Bojanagara atau Bojonegoro.

Sebelum berkembang di beberapa wilayah di Indonesia, kisahnya sudah muncul pada sastra lisan era Hindu-Buddha. Dalam hal ini, kisah legenda yang dituturkan tidak terpisahkan dari sejarah.

Sebutan tokohnya juga ada yang diambil dari sejarah, misalnya Jayabaya yang merupakan penguasa Kerajaan Kadiri (1135-1157 M). Pertanyaannya, apakah Angling Dharma tokoh sejarah?

Jika memang Angling Dharma tokoh sejarah, apakah ia berkaitan dengan sejarah Kerajaan Kadiri dan juga berkerabat dengan Jayabaya?

Ada kemungkinan bahwa ceritanya sudah dituturkan sejak era sebelum Kerajaan Majapahit.

Meski tokohnya fiktif, nama tempat dan kondisi geografisnya sesuai kenyataan

Kisah Angling Dharma, Dikenal Masyarakat sejak Zaman Majapahit

(foto: komik-antik)

Sampai sekarang banyak naskah yang memperkuat referensi kisahnya, misalnya Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit oleh Lydia Kieven.

Di sana disebut bahwa dahulu di era Majapahit ada kidung berbahasa Jawa Pertengahan dengan judul Aji Dharma. Memang sebenarnya ada bias dalam peceritaannya.

Ada penambahan, pengurangan fakta dan juga sentuan dramatika. Meskipun ada beberapa petilasan dan makam kuno, sejarawan cenderung yakin bahwa tokohnya hanya fiksi atau rekaan.

Meski tokoh-tokohnya fiktif, tapi nama tempatnya secara geografis, keberadaan sungai, laut, dan tumbuh-tumbuhannya mencerminkan keadaan di dunia nyata di masa lalu.

HaI ini dianggap wajar karena menjadi gambaran kondisi sosial dan budaya saat karya sastra ditulis.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.