kuliner
Sejarah Rendang, Kuliner Khas Minangkabau yang Mendunia
Rendang adalah salah satu kuliner yang terkenal, bukan hanya di dalam negeri tapi juga sudah mulai merambah ke mancanegara.
Makanan khas asal Sumatra Barat yang satu ini juga sempat dinobatkan sebagai salah satu makanan terlezat di dunia.
Ketika dimasak, dagingnya menjadi empuk tapi teksturnya kering, berwarna coklat, dan memiliki aroma rempah. Di rumah makan Padang pasti ada menu daging rendang sebagai lauknya.
Baca juga: Kue Batang Buruk, Berawal dari Patah Hati Sang Putri Raja
Dianggap menduduki kasta tertinggi di antara daftar masakan Minangkabau lainnya
Jika dirunut ke belakang, sejarah rendang terbuat dari bahan daging kerbau. Momen untuk menikmatinya hanya pada saat acara adat tertentu. Proses memasaknya sangat lama dan butuh keahlian khusus.
Tentu saja usaha yang dikerahkan akan sebanding dengan citarasa yang diciptakan. Daya tahannya juga cukup lama dibandingkan dengan masakan lain yang sama-sama berbahan dasar daging.
Namanya berasal dari kata ‘marandang’ yang artinya ‘dengan lambat’ yang merujuk kepada lama waktu untuk memasak daging biar teksturnya empuk dan bisa dinikmati dalam waktu lama.
Jadi, sebenarnya sejarah rendang adalah sebuah teknik memasak, dan bukan nama masakannya sendiri. Memang hidangan ini menduduki kasta yang tertinggi di antara daftar hidangan khas Minangkabau yang lain.
Selama proses memasak, ada nilai sikap kesabaran, ketekunan, dan kebijaksanaan
Masyarakat Minang zaman dahulu menyebutnya dengan kepalo samba atau induk dari makanan dalam adat Minangkabau.
Selama proses memasaknya, masyarakat percaya bahwa di dalamnya terdapat tiga nilai sikap, yaitu kesabaran, ketekunan, dan kebijaksanaan untuk bisa menghasilkan kualitas masakan yang terbaik.
Tiga unsur sikap tersebut diperlukan selama proses untuk memasak, termasuk juga saat memilih bahan-bahan berkualitas. Sejarah rendang untuk masyarakat Minangkabau juga terkait dengan musyawarah mufakat.
Empat bahan pokok yaitu daging, kelapa, cabai, dan bumbu adalah pelambang keutuhan atau kekompakan masyarakat Minang. Daging (dagiang) adalah simbol para pemimpin suku adat atau niniak mamak.
Kelapa (karambia) adalah simbol dari kaum terpelajar (cadiak pandai). Cabai (lado) adalah simbol dari alim-ulama, sedangkan bumbu (pemasak) adalah simbol dari masyarakat Minangkabau keseluruhan.
Baca juga: Asal usul Bir Pletok, Minuman Khas Betawi yang Tidak Memabukkan
Masyarakat Minangkabau sudah sejak dulu mengenal tradisi mengawetkan daging
Tradisi untuk mengawetkan daging sebenarnya sudah cukup lama dikenal masyarakat di Minangkabau. Proses pengawetannya dilakukan secara tradisional dan tidak memakai bahan kimia.
Dahulu, bahan yang dipilih adalah daging kerbau tapi sekarang lebih banyak sapi. Ada juga banyak macam bahan lain bisa diolah dengan bumbu rendang, misalnya ayam, telur, ikan, udang, dan cumi-cumi.
Bagian lain dari daging sapi yang biasa dipilih adalah paru-paru, babat, dan hati. Sementara itu, jika dipandang berdasarkan kegunaannya, maka sejarah rendang sempat terbagi lagi jadi dua jenis.
Ada yang untuk acara adat yang berbentuk sajian 1 kg daging yang tidak dipotong-potong. Ada juga yang untuk konsumsi sehari-hari, biasanya 1 kg daging dipotong jadi 20 bagian.
Orang Minangkabau yang merantau membuatnya semakin terkenal di seluruh Indonesia
Karena pengaruh tradisi merantau masyarakat Minangkabau, kelezatannya pun semakin terkenal di daerah lain. Orang Minangkabau yang merantau membawanya untuk bekal yang dibungkus dengan daun pisang.
Setelah dibawa ke luar kota, tekstur dagingnya yang kering bahkan bisa awet selama sebulan.
Sampai sekarang, orang Indonesia sudah banyak yang mengolahnya dalam berbagai acara, seperti hajatan, lebaran, dan untuk hidangan sehari-hari.
Memang resep turun temurunnya masih ada, tapi orang Indonesia yang bukan orang Minangkabau kadang juga bisa menyesuaikan bumbunya dengan lidah masyarakat setempat.
Yang jelas Kementerian Pariwisata Republik Indonesia pun memasukkannya sebagai salah satu dari lima kuliner khas Indonesia bersama dengan nasi goreng, soto, gado-gado, dan sate.
0 comments