inspirasi

Muhammad Al-Fatih, Penakluk Konstatinopel yang Punya Strategi Perang Cerdas

Penulis:   | 

Nama Muhammad Al-Fatih tercatat dalam sejarah dunia dan dikenang hingga kini. Namanya bersanding dengan Shalahuddin Al-Ayyubi sebagai salah satu pahlawan besar umat Islam.

Di usia yang masih sangat muda, yakni 21 tahun, Muhammad Al-Fatih mampu menaklukan Konstantinopel yang kini dikenal sebagai Istanbul, pada 1453 hingga dijuluki sebagai Sang Penakluk.

Muhammad Al-Fatih lebih dikenal dengan nama Mehmed II merupakan keturunan Turki Utsmani tau yang lebih dikenal sebagai Turki Ottoman.

Mehmed II dikenal sebagai pemimpin yang cakap serta pakar dari berbagai bidang ilmu. Mulai dari kemiliteran, ilmu pengetahuan, matematika dan menguasai 6 bahasa.

Baca juga: Sisi Kelam Kehidupan Animator Jepang, Gaji Rendah dan Rentan Depresi

Dijuluki Sang Penakluk karena kiprahnya menakulakan Konstantinopel

Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstatinopel di Usia Muda dengan Strategi Perang Cerdas

(foto: Steemit)

Lahir dengan nama Muhammad II di Edirne, Kesultanan Utsmaniyah pada 27 Rajab 835 H atau 30 Maret 1432. Ia merupakan putra dari Sultan Murad II, raja keenam kerajaan Utsmani.

Dikutip dari buku The Great of Shalahuddin al-Ayubi & Muhammad al-Fatih, nama Al-Fatih yang berarti Sang Penakluk diberikan lantaran kiprahnya menaklukan Konstantinopel.

Sang ayah sangat memperhatikan pendidikan anaknya agar kelak menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana.

Didikan inilah yang membuat Muhammad II kecil telah menyelesaikan hafalkan 30 juz Al-Quran, hdits, memahami ilmu hukum, mempelajari matematika, astronomi hingga strategi perang.

Sedangkan di usia 21 tahun, ia sudah fasih berbahasa Arab, Ibrani, Latin, Turki dan Yunani.

Menjadi pemimpin Utsmani usai sang ayah mempercayakan dirinya menjadi pemimpin

Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstatinopel di Usia Muda dengan Strategi Perang Cerdas

(foto: Tribunnews)

Dalam usia yang masih sangat muda, Sultan Murad II telah mempercayai dirinya untuk menjadi pemimpin. Muhammad II diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada 5 Muharam 855 atau 7 Februari 1451 Masehi.

Usai pengangkatannya, ia memiliki ambisi untuk menciptakan kebijakan militer dan luar negeri yang strategis.

Dia memberbarui sejumlah perjanjian Internasional dengan negara-negara tetangga dan juga sekutu militer. Hal ini dilakukan untuk merampas pengaruh kerajaan Byzantium Romawi di negara-negara tetangga Kerajaan Utsmani.

Mengguncang Konstantinopel bersama dengan 4 juta tentara selama 50 hari

Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstatinopel di Usia Muda dengan Strategi Perang Cerdas

(foto: hidayatullah)

Sultan Muhammad II mempersiapkan lebih dari 4 juta tentara untuk mengepung Konstantinopel dari daratan.

Sebelumnya ia telah mendirikan benteng besar di pinggir Bosporus yang diberi nama Rumli Haisar atau Benteng Rumi.

Benteng ini menjadi tempat persediaan perbekalan salama perang menaklukan Konstantinopel. Saat itu ia membawa 320 kapal perang dan kereta api artileri.

Kekaisaran Romawi terlihat mempertahankan kota ini. Mereka bahkan telah membangun pagar di tepi laut dengan menggunakan rantai logam di Semenanjung Tanduk Emas.

Sultan Muhammad II akhirnya memutuskan untuk menggunakan strategi perang Pangeran Kiev ketika berhasil menyerang Byzantium (nama Konstantinopel sebelumnya) namun dengan perubahan yang lebih cerdas.

Baca juga: Adnan Menderes, Perdana Menteri Turki yang Dihukum Gantung karena Kebijakan Pro Islam

Strategi menaklukan Konstantinopel menggunakan kapal-kapal dan jalur darat

Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstatinopel di Usia Muda dengan Strategi Perang Cerdas

(foto: howtoinstanbul)

Serangan ke Konstantinopel pada 6 April 1453 diawali dengan tembakan yang dilepaskan oleh Meriam raksasa. Penaklukan Konstantinopel tak mudah lantaran kota iru masih mampu bertahan usai serangan selama 2 pekan.

Akhirnya ada 21 April, Sultan Muhammad II mengerahkan kapal perangnya melalui Bukti Galata ke Tanduk Emas (Golden Horn).

Sultan Muhammad II bersama pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. 70 hingga 80 kapal laut melalui jalur yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar.

Saat itu, mereka juga menebangi pohon dan berhasil menyeberangkan kapal dalam waktu satu malam. Strategi ini rupanya dilakukan untuk memecahkan pertahanan musuh.

Tidak hanya itu, ia juga memutuskan untuk melakukan serangan utama. Sebelum itu, ia memerintahkan pasukannya untuk beristirahat dan berpuasa sebelum serangan utama dilakukan.

Sebagai seorang pemimpin, Sultan Muhammad II juga tak henti memberikan semangat pada pasukannya. Hingga pada 29 Mei 1453, serangan dimulai. Pasukan pemanah dan tentara janisari yang terlatih juga dikerahkan.

Serangan yang bertubi-tubi inilah yang membuat jatuhnya Konstantinopel. Benteng Byzantium yang awalnya tak tersentuh akhirnya jatuh. Emperium 11 abad yang besar itu jatuh ke tangan muslim.

Pertempuran itu memakan 265.000 korban jiwa dari tentara muslim. Berlangsung selama 50 hari, 20 Jumadil Awal 857 H atau 29 Mei 1453, Sultan Muhammad II berhasil menaklukan Konstantinopel dan dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih atau Muhammad Sang Penakluk.

Usai penaklukan Konstantinopel dan pemindahan Ibukota Utsmani

Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstatinopel di Usia Muda dengan Strategi Perang Cerdas

(foto: mystorybook)

Usai berhasil menaklukan Konstantinopel, Sultan Muhammad Al-Fatih turun dari kudanya dan langsung bersujud sebagai rasa syukur kepada Allah Swt.

Sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, Sultan Muhammad Al-Fatih tak lantas mengusir masyarakat Kota Konstantinopel.

Ia justru memberikan pengampunan dan perlindungan pada masyarakat. Selanjutnya, Sultan Muhammad Al-Fatih juga memindahkan Ibukota Utsmani dari Edirne ke Konstantinopel.

Pada 1481, Sultan Muhammad Al-Fatih menderita sakit. Namun ia tetap bersikukuh untuk ikut berjihad. Dalam perjalanan, kondisinya terus memburuk.

Tenaga kesehatan tak mampu menolongnya dan beragam obat juga tak bisa menyembuhkan penyakitnya. Sang Penakluk wafat pada usia 49 tahun di tengah para pasukannya. Ia wafat pada 3 Mei 1481.

Sebelum wafat, dirinya sempat berpesan pada keluarganya agar dekat dengan para ulama, selalu berbuat adil, tidak silau dengan harta, menjaga agama untuk pribadi, masyarakat dan kerajaan.