inspirasi

Misteri Kampung Pitu Gunungkidul, Hanya Dihuni 7 Keluarga

Penulis:   | 

Di Indonesia ada sejumlah daerah yang dianggap keramat karena terkait dengan riwayatnya di masa lalu. Bukan hanya satu lokasi saja, tapi juga berlaku menyeluruh dalam satu kampung.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta ada sebuah objek wisata terkenal bernama Gunung Api Purba Nglanggeran.

Di sebelah timurnya ada suatu kampung yang dikenal dengan Kampung Pitu Gunungkidul dan hanya boleh dihuni oleh 7 Kepala Keluarga saja.

Tujuh Kepala Keluarga yang bermukim di sana juga haruslah keturunan dari Eyang Iro Kromo, yaitu orang pertama yang tinggal di dalam kampung sejak ribuan tahun lalu.

Baca juga: Tradisi Kamomose, Usaha Cari Jodoh ala Warga Buton Tengah

Terbentuk tahun 1400-an karena sebuah sayembara dari Keraton

Misteri Kampung Pitu Gunungkidul, Hanya Dihuni 7 Keluarga

(foto: okezone)

Menurut para tetua dan Juru Kunci bernama Redjo Dimulyo, dulunya Kampung Pitu bernama Telogo Guyangan atau telaga yang dijadikan sebagai tempat memandikan hewan ternak.

Suatu hari, seorang Abdi di Keraton Yogyakarta mengadakan sayembara di sekitar kampung.

Siapa saja yang bersedia atau mampu merawat dan menjaga benda pusaka di dalam pohon kina Gadung Walung, maka akan mendapatkan imbalan tanah yang cukup baginya dan keturunannya.

Eyang Iro Kromo mengikuti sayembara dan berhasil melaksanakan tugasnya sehingga ia mendapatkan hadiah yang telah dijanjikan sebelumnya.

Berdasarkan catatan dari Redjo Dimulyo, konon kehidupan di kampungnya telah ada sejak tahun 1400-an. Akan tetapi, sampai saat ini kampung tersebut baru memiliki empat juru kunci saja.

Misteri di Kampung Pitu membuat banyak orang luar daerah penasaran

Misteri Kampung Pitu Gunungkidul, Hanya Dihuni 7 Keluarga

(foto: pinterest)

Peraturan unik tentang penghuni di dalamnya telah melegenda dan dipercaya oleh masyarakat setempat sejak lama.

Maka tidak heran jika banyak wisatawan yang penasaran dan ingin melihat langsung lokasi kampung ini.

Beberapa dari wisatawan bahkan ada yang memiliki keinginan untuk menetap, meski telah mengetahui tentang peraturan unik di kampung.

Redjo Dimulyo sebagai tetua dan juru kunci telah mengatakan bahwa warga tidak melarang jika ada orang yang memiliki keinginan tinggal di kampungnya.

Namun sesuai dengan aturan yang berlaku, orang tersebut harus siap menanggung risikonya.

Seperti saat masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, suatu hari ada seorang kyai yang datang secara tiba-tiba lalu memaksa untuk tinggal di Kampung Pitu.

Kyai tersebut mengatakan bahwa tanah di sana merupakan tanah negara sehingga dia berhak tinggal di situ dan menjadi keluarga yang kedelapan.

Konon, kyai meninggal secara tiba-tiba saat rumahnya masih dalam proses pembangunan.

Baca juga: 4 Fakta Desa Bendar, Kampung Nelayan Terkaya di Indonesia

Ada kepercayaan dan pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh warganya

Misteri Kampung Pitu Gunungkidul, Hanya Dihuni 7 Keluarga

(foto: detik)

Sampai ratusan tahun berlangsung, masyarakat pun mengenal dan menerapkan peraturan unik di kampung yang pada umumnya berupa pantangan agar jumlah kepala keluarganya tidak kurang dan tidak lebih dari tujuh.

Pantangan yang berlaku di dalamnya berasal dari keyakinan leluhur yang menyatakan bahwa jumlah semesta itu ada tujuh.

Juru kunci percaya Kampung Pitu merupakan pusat semesta atau papan pencer, sehingga keseimbangannya harus dijaga.

Kalaupun ada orang luar ingin datang untuk tinggal atau menetap, satu-satunya cara adalah dengan menikah dengan warga lokal.

Selain peraturan tentang jumlah kepala keluarga, di sana ada juga pantangan lain yang masih dipercaya masyarakat, yaitu pantangan yang melarang warga untuk menggelar pertunjukan wayang, terlebih jika di pertunjukannya ada lakon Raden Ongko Wijaya.

Karena peraturan dan pantangan, ekosistem di kampung masih tetap terjaga

Misteri Daerah di Gunungkidul, Hanya Dihuni 7 Keluarga

(foto: kompas)

Sebelum menjadi juru kunci di Kampung Pitu, Redjo Dimulyo memiliki sebuah kisah untuk diceritakan.

Konon saat kecil, kepala desanya menggelar pertunjukan wayang untuk memperingati hari ulang tahunnya.

Ketika pertunjukan digelar, Redjo melihat dengan mata kepalanya sendiri ada salah satu warga yang digorok oleh seseorang yang misterius.

Sejak saat itu ia percaya bahwa siapa saja yang memiliki niat macam-macam, terlebih sampai melanggar pantangan, tidak akan bisa pulang dengan selamat. Tubuhnya mungkin bisa pulang, tapi nyawanya tidak.

Dengan peraturan dan pantangan yang ada, ekosistem di kampung masih tetap terjaga.

Daerahnya masih bebas dari risiko polusi suara dan udara karena mayoritas warganya hidup dengan bertani dan berkebun.

Hal tersebut tidak terlepas dari kepemilikan tanah yang luas. Tidak tanggung-tanggung, satu keluarga memiliki tanah seluas 1 hektar yang bisa dimanfaatkan.

Jadi, bagaimana kira-kira menurutmu? Apakah setelah pandemi berakhir kamu tertarik untuk berkunjung langsung ke sana?

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.