inspirasi
Sejarah Teko Blirik, Dari Belanda Sampai Jadi Identitas Petani
Apakah kamu pernah melihat teko yang motifnya seperti seragam militer? Mungkin kakek nenek zaman dulu menyebutnya teko loreng atau teko blirik.
Teko berwarna kombinasi hijau dan putih ini memang legendaris dan sempat menjadi favorit masyarakat. Teko blirik pernah populer di era tahun 1960-an dan sekarang sudah tidak banyak terlihat di rumah-rumah penduduk.
Kalaupun ada, pemiliknya adalah kakek nenek sebagai barang kenang-kenangan tempo dulu. Biasanya digunakan untuk minum teh atau minum kopi.
Baca juga: Sejarah Korek Api, Dahulu Pernah Menjadi Simbol Status Sosial
Dipengaruhi oleh kebiasaan minum teh seperti yang dilakukan orang Eropa
Sebelum terkenal tahun 1960-an, teko blirik di Indonesia kira-kira sudah ada sejak tahun 1830.
Pemakaiannya di Indonesia adalah sesudah perang Diponegoro. Motif tekonya sejak dulu memang punya ciri khas lurik dan berwana hijau putih.
Dahulu orang-orang dari Eropa, khususnya Belanda yang pernah menduduki tanah air membawa beberapa budaya sehari-hari yang kemudian diadaptasi masyarakat Indonesia sampai puluhan tahun.
Salah satu yang menjadi kebiasaan di tengah masyarakat adalah budaya untuk minum teh.
Asal mula teko blirik ini juga terkait kebiasaan di Eropa yang minum teh pagi hari yang mana alat untuk minum tehnya berupa teko, cangkir, atau gelas blirik beserta lepek.
Bahkan kebiasaan minum teh di Indonesia masih berlaku sampai sekarang.
Dilapisi dengan bahan enamel dan pernah menjadi barang mewah pada masanya
Bisa dibilang kalau teko blirik sempat menjadi barang mewah pada masanya. Bahan untuk membuat teko dan gelas blirik adalah seng dan lapisan enamel yang mengkilap.
Enamel banyak dipakai untuk lapisan porselen. Dengan lapisan enamel itulah, teko blirik dapat bertahan lebih lama, tetap awet dan tahan karat walaupun kena panas.
Dahulu, yang memilikinya hanya kalangan tertentu. Karena leluhur kita di zaman dahulu lebih senang menggunakan kendi untuk tempat minuman, tapi ternyata teko blirik lebih banyak diminati karena awet.
Lama-lama, harganya menjadi terjangkau dan hampir semua kalangan tertarik memilikinya.
Baca juga: Kisah Ken Arok, Seorang Begal yang Berhasil Membangun Kerajaan
Menjadi identitas tersendiri di kalangan petani dan buruh perkebunan di Jawa
Penjual yang pertama kali memperkenalkan teko ke Hindia Belanda adalah seseorang dari Belanda yang bernama Jan Mooijen.
Saat pemerintah kolonial Belanda masih menjajah Indonesia, Mooijen pun membuka sebuah agen penjualan teko blirik. Saat itu diperkirakan tahun 1845.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, atau tepatnya tahun 1908, motif blirik pada teko menjadi sebuah identitas tersendiri di Hindia Belanda. Benda yang satu ini cukup terkenal di pasar Gambir.
Seiring berjalannya waktu, teko ini menjadi pilihan para nelayan, petani dan buruh di Pulau Jawa. Sekitar tahun 1921, motif blirik dipakai untuk simbol perjuangan kaum buruh dan petani, sama seperti caping.
Sekarang lebih banyak yang mengoleksinya untuk hiasan ruangan yang berkonsep vintage
Akhirnya, masa penjajahan pun usai dan Indonesia memasuki era baru sejak proklamasi kemerdekaan sampai tahun 1960-an teko yang bermotif blirik masih banyak disukai masyarakat.
Pada tahun 1990, ternyata masa kejayaannya berakhir. Alasannya pun sederhana, yaitu karena masih banyak produk murah tapi kegunaannya sama.
Pastinya konsumen memilih yang harganya lebih murah walau kualitasnya sedikit berbeda.
Saat itu penggunaan gelas kaca polos yang tentunya anti karat dan juga awet semakin diminati dan menggeser wadah minum dari seng dan bermotif blirik.
Teko ini sekarang sudah menjadi salah satu barang antik yang sering dicari kolektor.
Bukan untuk tempat minum, tapi untuk display atau hiasan ruangan seperti di restoran yang mengusung konsep vintage atau nuansa zaman dulu.
Meskipun termasuk barang antik, banyak juga yang memproduksinya lagi dalam bentuk baru dan digunakan untuk minum teh atau kopi sambil bernostalgia.
0 comments