inspirasi

Sejarah Sunan Gunung Jati, Ulama Wali Songo dari Cirebon

Penulis:   | 

Pernahkah kamu dengar tentang Wali Songo? Wali Songo adalah sebuah lembaga dakwah Islam dari masa kerajaan di Indonesia.

Walau bernama Wali Songo yang berarti sembilan (dari bahasa Jawa), tetapi jumlah asli dan siapa sebenarnya identitas yang diwakili dengan nama tersebut masih diperdebatkan di antara para sejarawan.

Terlepas dari hal tersebut, mungkin nama Sunan Gunung Jati tidak asing terdengar. Sunan Gunung Jati adalah nama sebutan salah satu wali yang sangat identik dengan penyebaran Islam di kota Cirebon.

Baca juga: Etnis Muslim Cham Bani Vietnam, Hanya Salat Sekali Sebulan

Merupakan sosok blasteran antara Indonesia dan Mesir

Sejarah Sunan Gunung Jati, Ulama Wali Songo dari Cirebon

(foto: kompas)

Semenjak zaman dahulu, sebetulnya sudah banyak orang Indonesia yang merupakan hasil dari perkawinan campuran. Sunan Gunung Jati adalah orang ternama dari zaman lampau yang juga merupakan blasteran.

Dikutip dari Sunan Gunung Djati: Sang Penata Agama di Tanah Sunda (2020), nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah, dan merupakan keturunan dari seorang berkedudukan tinggi.

Ia merupakan keturunan Sultan Syarif Abdullah bin Ali Nurul Alim, dari pernikahan dengan Nyai Rarasantang, putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.

Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa ayah dari Sunan Gunung Jati adalah seorang keturunan kerajaan dan syekh beraliran sufi dari Mesir.

Tidak hanya lahir dari perkawinan campuran, tetapi kedua orangtuanya memiliki kedudukan terpandang di negeri asal masing-masing pada masanya.

Sudah menjadi perantau semenjak usianya masih muda

Sejarah Sunan Gunung Jati, Ulama Wali Songo dari Cirebon

(foto: jawapos)

Semasa muda, tempat tinggalnya bukan di Indonesia. Ia hidup di Mesir, dan kemudian menimba ilmu tentang agama Islam di Mesir pula, lalu merantau dengan tujuan yang sama ke kota Mekkah pada usia 20 tahun.

Tapi tidak berhenti di sana, selepas Mekkah ia terus menuntut ilmu hingga ke Gujarat, India, dilanjutkan ke kerajaan Pasai (Aceh) hingga belahan daerah lainnya di Indonesia.

Walau belum ada pesawat, tetapi keadaan saat itu tidak menjadi penghalang baginya untuk menempuh jarak jauh dalam menuntut ilmu. Bersama dengan ibunya, Nyari Rarasantang, akhirnya ia memulai dakwah di tanah Jawa.

Mengemban amanah sebagai pendakwah sekaligus politikus di Cirebon

Sejarah Sunan Gunung Jati, Ulama Wali Songo dari Cirebon

(foto: radarcirebon)

Kehadirannya bersama sang ibu disambut oleh Pangeran Cakrabuana, atau dikenal pula dengan nama sebutan Haji Abdullah Iman.

Kemudian mereka diizinkan menetap dan membangun pesantren di daerah pasumbangan Gunung Jati. Di sinilah ia mendapat julukan Sunan Gunung Jati sebelum mengemban amanah dakwah.

Tidak hanya itu, ia dinikahkan kepada putri Pangeran Cakrabuana dan diangkat sebagai pangeran dakwah.

Kemudian, ketika Pangeran Cakrabuana mangkat, Sunan Gunung Jati diberi tampuk kepemimpinan Kesultanan Cirebon saat itu.

Dari sinilah sepak terjangnya sebagai pendakwah sekaligus politikus semakin tajam. Masa-masa pemerintahannya di Kesultanan Cirebon disebut pula sebagai era ‘golden age’ perkembangan Islam di Cirebon.

Baca juga: Apa Itu Gatsbying, Kode Tersirat Buat Gebetan di Media Sosial

Menyebarkan pengaruh bukan hanya di wilayah Cirebon

Sejarah Ulama Wali Songo dari Cirebon

(foto: historyofcirebon)

Pengaruhnya dalam dakwah tidak bisa diremehkan. Seiring dengan tampuk kepemimpinan di Kesultanan Cirebon, dakwahnya berhasil dikenal hingga ke Sunda Kelapa atau Jakarta di masa lampau, Banten, Serang dan daerah lain di Jawa Barat.

Walau pada masa itu belum ada media sosial yang membuat sosoknya terkenal, popularitas dan pengaruhnya sampai di luar Cirebon.

Dalam rangka memperluas penyebaran dakwah, ia pun melangsungkan pernikahan dengan Nyai Ratu Kawunganten, putri bupati Kawunganten Banten,kemudian memiliki putra yang kemudian menjadi Sultan Banten.

Tetap gigih berdakwah hingga lanjut usia

Sejarah Ulama Wali Songo dari Cirebon

(foto: umroh)

Berbeda dengan kebanyakan politikus zaman sekarang yang cenderung berkompetisi di dunia pemerintahan sampai titik darah terakhir, ia tidak menunggu hingga akhir kehidupan untuk memegang pemerintahan Kesultanan Cirebon.

Walaupun kariernya sebagai pendakwah sekaligus Sultan cukup cemerlang, ia memilih mengundurkan diri di usia 89 tahun dari Kesultanan Cirebon, kemudian menghabiskan sisa umurnya untuk menekuni dunia dakwah.

Disebutkan di beberapa sumber sejarah bahwa umurnya mencapai sekitar 118-120 tahun dan diperkirakan wafatnya adalah tahun 1568 M, kemudian dimakamkan di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.