inspirasi

Sejarah Prasasti Katiden, Konservasi Alam Peninggalan Majapahit

Penulis:   | 

Kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan yang ada di Nusantara pada tahun 1293-1520 Masehi. Keberadaannya memberi pengaruh cukup besar dalam beberapa aspek kehidupan.

Membahas tentang peninggalan Kerajaan Majapahit, mungkin yang paling banyak dikenal dan diceritakan dalam sejarah adalah berupa candi. Meskipun sebenarnya peninggalan Majapahit tidak hanya candi.

Setiap peninggalan yang ada sekaligus menyimpan kisah tentang budaya masyarakat pada saat itu. Bukan hanya disibukkan dengan urusan politik kerajaan, ternyata orang-orang zaman dahulu sudah peduli untuk merawat alam.

Salah satu peninggalan Majapahit yang menunjukkan kepedulian kepada alam adalah prasasti Katiden. Nama Katiden sendiri saat ini masih dikenal masyarakat kabupaten Malang dengan sebutan Desa Ketindan.

Baca juga: Cerita Kancil dan Buaya, Punya Pesan Moral Penting

Prasasti dibuat pada lempeng tembaga dengan aksara Jawa Kuno

Sejarah Prasasti Katiden, Konservasi Alam Peninggalan Majapahit

(foto: kekunoan)

Ada dua macam prasasti Katiden, yaitu Katiden I dan Katiden II. Prasasti Katiden I dibuat pada masa Kerajaan Majapahit, yaitu pada pemerintahan Bhre Hyang Wisesa atau Wikramawardhana (1389-1429 M).

Dilihat bentuk fisiknya, Prasasti Katiden I ditulis pada sebuah lempeng tembaga dengan ukuran 9,7 × 35,7 cm. Prasasti memakai aksara Jawa Kuno.

Seperti peristiwa sejarah yang lain, dalam prasasti Katiden juga ada beberapa versi tahun. Katiden I berasal dari tahun 1314 Saka dan Katiden II berasal dari tahun 1317 Saka.

Strukturnya terdapat lima baris di bagian depan dan juga satu baris di bagian belakang. Dalam prasasti ada tulisan penanggalan bulan ke-9 yang disebut bulan Caitra dalam tahun 1314 Saka.

Jika dirunut tahun Masehi, waktunya adalah antara tanggal 24 Maret dan 22 April 1392.

Isi Prasasti Katiden menyangkut tentang peristiwa kebakaran hutan di era Majapahit

Sejarah Prasasti Katiden, Konservasi Alam Peninggalan Majapahit

(foto: liputan6)

Prasasti Katiden sekarang disimpan di Museum Nasional dan bernomor inventaris E 65. Sekarang juga sudah dialihbahasakan ke Bahasa Belanda oleh Stutterheim.

Selain dialihbahasakan, prasasti juga dibaca lagi oleh Wibowo dan Boechari untuk kemudian dituliskan sebagai koleksi di Museum Nasional tahun 1985.

Pada intinya, isi prasasti menegaskan tentang perintah Sri Wijayarajasa, kakek dari Wikramawardhana untuk lebih menghargai lingkungan di daerah Katiden yang umumnya berupa hutan.

Apalagi menurut sejarahnya, pada zaman Kerajaan Majapahit sempat terjadi beberapa kali kebakaran hutan, yang kemudian mendorong pihak kerajaan untuk memberi hadiah kepada masyarakat yang berhasil menjaga hutan dari kebakaran.

Baca juga: Cerita Rakyat Malin Kundang, Kutukan untuk Anak Durhaka

Penguasa Majapahit mengimbau agar penduduk menjaga hutan

Sejarah Prasasti Katiden, Konservasi Alam Peninggalan Majapahit

(foto: wikipedia)

Dalam dua prasasti tidak menyebut nama raja. Dalam Prasasti Katiden I hanya disebutkan sosok sira sang mokta ri keŗtabhuwana atau yang berarti dia yang wafat di Kŗttabhuwana.

Sosok yang dimaksud yaitu Raden Kudamerta yang sempat jadi bawahan raja Majapahit di daerah Wengker. Ia dikenal dengan nama Bhre Parameswara yang kedudukannya di Pamotan dan punya nama lain Sri Wijayarajasa.

Isi prasasti menjelaskan tentang maklumat dari Sri Wijayarajasa yang mengizinkan penduduk Katiden membunuh hewan yang membahayakan dan akan memakan tanaman di hutan.

Kecintaan pada alam pun ditunjukkan oleh Sri Wijayarajasa saat mengajak pembesar lain untuk memperhatikan dan menjaga lingkungan sekaligus mencintai rakyat. Hal tersebut dikisahkan juga dalam kitab Nagarakretagama.

Meskipun Sri Wijayarajasa telah meninggal, tapi perintahnya masih dipatuhi oleh para penduduk Katiden sampai sang cucu mewarisi kekuasaan.

Sejak ratusan tahun lalu, masalah kerusakan lingkungan sudah menjadi isu penting

 Konservasi Alam Peninggalan Majapahit

(foto: kumparan)

Meskipun sejarah prasasti Katiden tidak banyak dibahas, tapi dari sana kita bisa memahami bahwa bencana alam atau kerusakan lingkungan sudah menjadi isu yang penting bagi masyarakat.

Sejak dulu, ketika ada bencana kebakaran hutan, yang bereaksi lebih awal adalah hewan. Penduduk pun banyak belajar untuk lebih peka dengan makhluk hidup lainnya.

Begitu juga pihak yang berkuasa yang berperan penting untuk membuat aturan dan memberi apresiasi kepada warga yang berjasa untuk lingkungan.

Sekelumit kisah sejarah ini bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang zaman sekarang untuk mengambil hal-hal baik dari para pendahulu.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.