inspirasi

Kisah di Balik Tari Kinyah Mandau, Kesenian dari Suku Dayak

Penulis:   | 

Suku Dayak dari Kalimantan bukan hanya terkenal dengan senjata yang sakral, tapi juga kesenian dan beladiri.

Dari kalangan masyarakat Dayak ada satu tarian yang menggabungkan unsur beladiri, seni perang, dan seni teatrikal.

Hampir seluruh suku Dayak di Kalimantan memiliki tarian jenis ini, utamanya di Kalimantan Tengah. Nama tarian yang dimaksud adalah Tari Kinyah Mandau.

Kinyah Mandau diambil dari kata kinyah yang berarti tarian perang, dan mandau yang merupakan senjata pamungkas suku Dayak dalam peperangan.

Para penari tarian ini biasanya menggunakan pakaian khas suku Dayak lengkap dengan ikat kepala yang memiliki hiasan bulu burung Enggang.

Selain itu, tubuh para penari dihiasi tato khas suku Dayak yang sarat akan filosofi.

Baca juga: Monumen Gunongan, Wujud Ketulusan Hati Sultan Iskandar Muda

Sejarah dan asal-usul Tari Kinyah Mandau dimainkan sebelum ‘berburu kepala’

Kisah di Balik Tari Kinyah Mandau, Kesenian dari Suku Dayak

(foto: dmo)

Awalnya, Tari Kinyah Mandau lahir dari ritual sebelum perang yang dilakukan oleh suku Dayak pada zaman dulu.

Ritual yang dilakukan dimodifikasi dengan cara menambah gerakan, kemudian menjadi semakin indah karena dibumbui aksi teatrikal dari penarinya.

Bagaimana sejarah penciptaan tarian ini? Pada zaman dulu, pemuda-pemuda dari hampir semua suku Dayak diharuskan memburu kepala untuk macam-macam alasan, salah satunya memenuhi keperluan tertentu di setiap sukunya.

Sebelum perburuan dilakukan, para pemuda akan melakukan persiapan fisik dengan cara melakukan kinyah atau tarian perang.

Para pemuda akan mempertontonkan kemampuan menari kepada seluruh warga kampung untuk kemudian dilihat mana yang lebih cocok ‘dilepaskan’ ke medan perang.

Pemuda yang terpilih akan menjalankan tugas memburu kepala siapa saja yang dia temui, kecuali kepala orang-orang yang berasal dari kampungnya sendiri.

Terkait dengan hukum rimba yang dahulu pernah berlaku di masyarakat Dayak

Kisah di Balik Tari Kinyah Mandau, Kesenian dari Suku Dayak

(foto: seringjalan)

Pada zaman dulu, suku Dayak menganut hukum rimba untuk bertahan hidup. Siapa yang kuat, maka dialah yang akan berkuasa.

Karena itu, setiap anak laki-laki akan dianggap menjadi dewasa jika sudah berhasil memburu kepala manusia.

Sebagai tanda kedewasaannya, anak tersebut akan diberikan tato di bagian betisnya.

Dulu juga ada tiga istilah yang sangat ditakuti oleh masyarakat, yaitu hakayau (saling potong kepala), hapini (saling bunuh), hajipen (saling memperbudak).

Bagi masyarakat suku Dayak Ngaju, hakayau atau mengayau memiliki alasannya sendiri, yaitu untuk keperluan acara Tiwah.

Tiwah ini adalah acara membersihkan tulang leluhur untuk diantarkan ke surga.

Dalam acara Tiwah, kepala manusia digantungkan di tempat berlangsungnya pusat acara.

Setelah itu dikuburkan di dekat sandung atau rumah kecil tempat menyimpan tulang belulang leluhur yang telah ditiwahkan.

Baca juga: Fakta Tentang Sianida, Zat Kimia Beracun Sejak Abad ke-18

Sempat ada perubahan makna tarian karena ada perdamaan di tengah Suku Dayak

Kisah di Balik Tari Kinyah Mandau, Kesenian dari Suku Dayak

(foto: seringjalan)

Pada tahun 1894 diselenggarakn perjanjian damai Tumbang Anoi antar pimpinan berbagai suku Dayak.

Perjanjian ini juga yang mengakhiri tradisi pemburuan kepala di masyarakat suku Dayak. Dengan begitu, tarian kinyah yang menjadi ‘gladi resik’ tradisi pemburuan kepala pun ikut berakhir.

Setelah diusut ulang, diketahui bahwa yang membuat suku Dayak terpecah saat itu adalah rasa curiga antar suku.

Karena itu setelah perjanjian dilakukan, setiap suku diwajibkan menunjukan gerakan anyar dalam memburu kepala musuh di depan sub suku lainnya.

Menurut tradisi zaman dulu, gerakan memburu kepala merupakan hal yang sangat rahasia dan tidak boleh diperlihatkan kepada musuh.

Dengan kata lain, pihak yang memperlihatkan gerakan tersebut sama saja sedang memperlihatkan kelemahannya sendiri.

Kesepakatan ini yang kemudian menghilangkan perasaan curiga antarsuku dan kehidupan masyarakat suku Dayak menjadi lebih damai.

Tari Kinyah Mandau berkembang menjadi tarian adat khas suku Dayak

Kisah di Balik Kesenian dari Suku Dayak

(foto: pinterest)

Perjanjian Tumbang Anoi juga menjadi sumber inspirasi untuk kelahiran tari kreasi Pangkalima Tumbang Anoi.

Tarian ini adalah tarian penyampai pesan persatuan dan perdamaian agar tercapainya masyarakat yang maju dan sejahtera.

Seiring perkembangan zaman, tradisi Tari Kinyah Mandau kemudian dikembangkan menjadi tarian adat khas suku Dayak yang menyajikan hiburan bagi masyarakat luas.

Tarian ini dimodifikasi terlebih dulu dengan memasukan berbagai variasi gerakan tari.

Selain itu, dimasukan juga unsur teatrikal yang menggambarkan jiwa dan semangat keberanian suku Dayak.

Hasil akhirnya adalah sebuah tarian dengan gerakan gesit, seolah-olah ingin memburu musuh, namun terlihat mengagumkan.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.