inspirasi

Kaghati Kolope, Layang-layang Tradisional Tertua di Dunia dari Sulawesi Selatan

Penulis:   | 

Sudah sejak dulu permainan layang-layang menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat, khususnya di musim kemarau.

Berbagai ukuran dan model pun dibuat sesuai kreativitas. Untuk meramaikan suasana, beberapa festival atau kompetisi pun digelar.

Ada kebanggaan tersendiri bagi pembuat layang-layang yang paling kreatif, paling unik, hingga paling besar.

Bukan hanya di tingkat nasional, layang-layang Indonesia juga menarik perhatian pada festival-festival internasional.

Baca juga: Asal Usul Nyi Roro Kidul, Sang Ratu Penguasa Pantai Selatan

Kaghati Kolope dibuat dari bahan tradisional yang cukup mudah ditemukan di Sulawesi

Kaghati Kolope, Layang-layang Tradisional Tertua di dunia dari Sulawesi

(foto: detik)

Kaghati kolope adalah sebuah layang-layang tradisional milik masyarakat di pulau Muna, Sulawesi Selatan. Kadang namanya disebut kaghati saja karena kolope adalah bahannya.

Layang-layang unik ini terbuat dari bahan utama daun kolope kering, kulit bambu, serat nanas, dan tali. Bahan alami daun kolope cukup mudah diperoleh di Pulau Muna.

Ukuran layang-layang Kaghati umumnya antara 170-an cm tapi bisa juga dibuat sesuai keinginan pemiliknya.

Meskipun dibuat dari bahan yang alami, tapi Kaghati tahan air, bisa terbang tinggi, serta bertahan di langit berhari-hari.

Sering mengikuti berbagai festival dan menjadi yang paling unik di dunia

Kaghati Kolope, Layang-layang Tradisional Tertua di dunia dari Sulawesi

(foto: lovetravelbug)

Bahan daun kolope yang dibutuhkan untuk membuat Kaghati adalah berjumlah 1300 lembar. Pembuatnya empat orang dan butuh waktu selama dua minggu.

Sampai sekarang layang-layang ini yang sering diterbangkan pada berbagai festival memang sangat unik.

Kemampuannya untuk terbang tinggi serta bertahan berhari-hari di udara sangat mengagumkan.

Apabila angin dan cuaca mendukung, ketika terbang, layang-layang kuno ini memunculkan suara yang mendengung berasal dari pita yang ada di dua sisinya.

Pita yang disebut kamumu dibuat dari kulit ari di pohon waru atau daun nyiur.

Layang-layang ini sudah sering diterbangkan ke berbagai festival nasional dan internasional. Bagi penggemar layang-layang di benua Eropa, Kaghati memiliki daya tarik sendiri karena unik dan tangguh.

Baca juga: Lintang Kemukus, Fenomena Bintang Berekor yang Dikaitkan dengan Pertanda Bencana

Peneliti dari Jerman membuktikan bahwa Kaghati memang tertua di dunia

Kaghati Kolope, Layang-layang Tradisional Tertua di dunia dari Sulawesi

(foto: seasia)

Berdasar pada lukisan di Gua Sugipatini yang ada di desa Liang Kobori, Kaghati merupakan layang-layang tua yang sudah pernah dibuat sejak ribuan tahun lalu.

Sudah banyak yang menyebut bahwa layang-layang dari Pulau Muna adalah hasil karya yang legendaris.

Akan tetapi, sayangnya belum ditemukan catatan lengkap dalam sejarah Indonesia bahwa Kaghati adalah layang-layang pertama di dunia.

Ada bukti baru yang justru ditemukan oleh antropolog dan peneliti dari Jerman, Wolfgang Bieck usai penyelenggaraan Berck sur Mer, festival layang-layang di Prancis pada tahun 1997.

Penelitian Wolfgang Bieck secara langsung di Pulau Muna sekaligus mematahkan klaim selama ini yang menyebutkan bahwa layang-layang tertua di dunia berasal dari China 2.400 tahun yang lalu.

Sempat menjadi bagian tradisi dan sebagai petunjuk jalan menuju Sang Pencipta

 Layang-layang Tradisional Tertua di dunia dari Sulawesi

(foto: indtravels)

Sampai sekarang Kaghati masih mudah ditemukan di Pulau Muna. Di sana terlihat kebiasaan masyarakat yang unik, yaitu untuk menerbangkannya tujuh hari non-stop.

Pada hari ketujuh, tali yang ada pada layang-layang dipotong untuk terbang bebas.

Tidak hanya sebagai permainan, dahulu nenek moyang masyarakat Pulau Muna menerbangkannya untuk kepentingan spiritual.

Layang-layang yang terbang dianggap sebagai petunjuk jalan kepada Sang Pencipta yang ada di atas.

Ada harapan bahwa layang-layang yang terbang bisa menuntun pemiliknya sampai pemiliknya wafat atau kembali kepada-Nya.

Akan tetapi sejak agama Islam menyebar ke Pulau Sulawesi, tradisi ini menjadi sekadar hiburan saja pada musim kemarau, festival, kompetisi, atau setelah panen.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.