inspirasi

Asal Usul Sumur Lubang Buaya, Lokasi Tempat Pembuangan Korban G30S/PKI

Penulis:   | 

Ketika mendengar kata Lubang Buaya, ingatan masyarakat Indonesia akan mengarah ke peristiwa tragis 30 September 1965 atau yang dikenal dengan G30S/PKI.

Kenyataan sebenarnya nama Lubang Buaya sudah ada jauh sebelum terjadinya peristiwa G30S/PKI, yaitu pada era kolonial Belanda.

Cerita menyeramkan di Lubang Buaya juga sudah mengakar pada pikiran orang Indonesia. Apalagi pada saat Orde Baru berkuasa, daerahnya .

Kompleks Lubang Buaya dibangun dengan beberapa bagian penting di dalamnya; sumur maut, Monumen Pancasila Sakti, Museum Paseban, Museum Pengkhianatan PKI yang berisi diorama tentang aksi kekejaman PKI kepada para jenderal yang jadi korban di malam 30 September 1965.

Baca juga: Uniknya Giethoorn, Desa Terbersih di Dunia yang Bebas Polusi

Bukan hanya menjadi monumen bersejarah, tapi juga tempat ziarah

Jadi Tempat Pembuangan Korban G30S/PKI, Beginilah Asal Usul Sumur Lubang Buaya

(foto: wikipedia)

Lubang Buaya ada di Kompleks Monumen Pancasila Sakti, Cipayung, Jakarta Timur. Menjadi area yang sakral, memang kini menjadi tempat wisata sejarah.

Bukan hanya monumen bersejarah untuk mengenang pahlawan, tapi sekaligus tempat ziarah yang suasananya khidmat. Sambil mengenang peristiwa tahun 1965, para pengunjung berdoa di dalam hening.

Lubang ini diberi lampu dengan cahaya kemerahan melingkar di area pendopo. Di sanalah para jenderal pernah meregang nyawa setelah ditembak, diseret, dipukuli, dimasukkan ke dalam sumur, ditembak lagi, lalu ditutup dengan sampah.

Bertahun-tahun sebelum 1965 konon Lubang ini sempat dipakai jadi pusat latihan oleh anggota PKI

Dulu merupakan sungai yang menjadi habitat buaya besar dan ganas

Jadi Tempat Pembuangan Korban G30S/PKI, Beginilah Asal Usul Sumur Lubang Buaya

(foto: bbc)

Konon sebutan Lubang Buaya pada zaman dulu diberikan oleh tokoh setempat yang punya kesaktian khusus. Tokoh tersebut dikenal dengan sebutan Datuk Banjir.

Warga menghormati Datuk Banjir karena keberaniannya mengusir penjajah Belanda. Pada masanya, serdadu Belanda seolah tenggelam di sungai saat ingin menguasai kawasan Lubang Buaya yang dulu masih rimbun dengan pepohonan karet.

Tidak seperti saat ini, lokasi ini dulunya hutan karet yang lebat dan sepi dari penduduk. Tempatnya juga terdapat sungai dan menjadi habitat buaya besar dan ganas.

Seorang keturunan dari Datuk Banjir mengatakan bahwa saat itu buyutnya sedang melintas di sungai yang mengalir di wilayah Lubang Buaya.

Ketika melintas dengan rakit atau getek, Datuk Banjir juga memakai bambu sebagai dayung.

Tapi ada yang aneh di tengah perjalanan. Dayung yang dipakai tidak menyentuh ke dasar sungai, justru tiba-tiba seperti masuk ke ruang hampa yang mencurigakan.

Baca juga: Potala Palace, Istana Tertinggi di Dunia yang Punya 1000 Ruangan

Dahulu warga setempat berusaha menghindar agar tidak terserang buaya

Jadi Tempat Pembuangan Korban G30S/PKI, Beginilah Asal Usul Sumur Lubang Buaya

(foto: vice)

Berdasarkan cerita turun temurun, warga yang bertempat tinggal di sekitar sungai juga mengakuinya. Suatu hari sungai meluap dan banjir menyerang tempat permukiman.

Saat rakit didayung ke depan, beberapa tidak dapat bergerak. Begitu air sudah surut, ditemukan bahwa dayung sudah dimakan buaya lapar yang tinggal di sungai.

Ruang hampa dalam sungai yang awalnya ditemukan Datuk Banjir ternyata rumah bagi para buaya.
Sejak saat itu Lubang Buaya memberikan kesan yang menakutkan.

Banyak orang takut dan tidak ingin ke sana karena ada lubang yang berisi buaya. Sebutan tersebut semakin banyak disebut oleh warga sampai terkenal ke daerah lain.

Di kemudian hari pemerintah setempat pun menetapkan soal nama daerahnya menjadi Lubang Buaya. Bahkan ketika sungai sudah mengering dan hutan karet sudah tidak ada lagi.

Terkesan angker dari dulu hingga sekarang

Jadi Tempat Pembuangan Korban G30S/PKI,

(foto: newswantara)

Menurut kesaksian banyak orang, suasana yang angker sangat terasa di Lubang Buaya. Apalagi setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan keji di tahun 1965.

Sumur 12 meter yang pernah dimasuki 7 jasad pahlawan revolusi memang menjadi spot yang paling beraura mistis di komplek museum.

Sejak dibangun pada era presiden Suharto, para pengunjung sempat menyaksikan atau merasakan kehadiran makhluk astral.

Ada yang terlihat seperti tentara berwajah rusak, bau anyir darah, teriakan minta tolong dari dalam sumur, atau suara derap kaki baris berbaris.

Terlepas dari benar atau tidak cerita mistis seperti itu, tapi secara tidak langsung suasana yang menakutkan justru menguji nyali masyarakat.

Dengan mendatangi kawasan Lubang Buaya, berarti mengingat kembali potongan sejarah penting negeri ini. Bahwa pernah ada orang-orang yang berani bertaruh nyawa demi membela negara.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.