inspirasi

Tradisi Nginang, Mengunyah Sirih sebagai Simbol Menjaga Lisan

Penulis:   | 

Tidak bisa dimungkiri bahwa masyarakat Indonesia memiliki banyak tradisi unik yang tetap dipertahankan sejak zaman dulu. Salah satunya adalah tradisi nginang.

Nginang adalah kegiatan mengunyah campuran pinang, tembakau, gambir, kapur, cengkih, dan sirih yang dilakukan oleh perempuan.

Perempuan Indonesia zaman dulu seakan-akan mewajibkan diri mereka untuk menginang. Mereka pun telah menyiapkan satu wadah khusus untuk menyimpan alat nginang, yaitu tepak sirih.

Tidak jelas sejak kapan kegiatan ini dimulai, ada yang mengatakan usianya sudah lebih dari 3000 tahun.

Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa para musafir Tiongkok telah mengungkapkan kegiatan mengkonsumsi sirih dan pinang sejak abad ke-2 SM.

Baca juga: Keunikan Seni Liping, Miniatur Kehidupan Jawa Masa Lalu

Efek samping kebiasaan nginang sering dibanding-bandingkan dengan merokok

 Tradisi Nginang, Mengunyah Sirih sebagai Simbol Menjaga Lisan

(foto: grid)

Tradisi nginang juga ditemukan dalam catatan perjalanan milik Marco Polo yang didukung dengan pernyataan Ibnu Batuta serta Vasco Da Gama. Meskipun begitu, sirih pinang merupakan simbol bagi masyarakat adat Melayu.

Saat ini nginang masih tersebar luas di kalangan masyarakat Indonesia mulai dari Aceh, Jawa, Nusa Tenggara, bahkan hingga Papua.

Karena itu setiap daerah mempunyai sebutannya sendiri untuk tradisi mengunyah pinang ini, misalnya bersugi, menyepah, menyirih, nyusur, atau bersisik.

Menginang sempat dibanding-bandingkan dengan merokok karena menggunakan tembakau di dalamnya. Ada yang menganggap bahwa menginang sama bahayanya dengan merokok.

Tapi kemudian diketahui bahwa dampak negatif dari minang tidak terlalu signifikan dan hanya dirasakan oleh orang yang melakukan kegiatan ini.

Berbeda jauh dengan rokok yang bahayanya juga dirasakan oleh orang yang tidak merokok.

Ada filosofi di balik bahan-bahan yang dipakai untuk nginang

 Tradisi Nginang, Mengunyah Sirih sebagai Simbol Menjaga Lisan

(foto: kompas)

Kegiatan mengunyah pinang ini tidak hanya dilakukan untuk melestarikan budaya semata, namun ternyata ada filosofi di balik setiap bahan-bahan yang digunakan.

Sirih, dipercaya memiliki makna rendah hati, senang memberi, dan memuliakan orang lain.

Lalu kapur dan tembakau yang melambangkan sifat rela menolong sesama manusia dan ketabahan hati. Gambir memiliki makna keteguhan hati manusia dan juga kesabaran yang kuat.

Setiap bahan tersebut digabungkan menjadi sebuah kesatuan yang memiliki cita rasa khasnya sendiri.

Hal ini menjadi simbol perjalanan manusia dalam meraih cita-citanya yang pahit, namun tetap harus dijalani dengan sungguh-sungguh, tulus, sabar, dan bersih.

Baca juga: Suku Baduy Banten, Merawat Alam sekaligus Wasiat Leluhur

Salah satu fungsi menginang dipercaya bisa merawat kebersihan mulut

 Tradisi Nginang, Mengunyah Sirih sebagai Simbol Menjaga Lisan

(foto: kumparan)

Pada awalnya orang-orang melakukan kegiatan menginang agar aroma mulut menjadi lebih segar. Perlahan tapi pasti, kegiatan ini menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan.

Seiring dengan semakin majunya pengetahuan, kemudian diketahui bahwa menginang memiliki manfaat yang lebih banyak.

Seperti merawat gigi, menghentikan pendarahan yang terjadi di area gusi, dijadikan obat kumur, dan juga menyembuhkan luka di mulut.

Tidak cukup sampai di situ, menginang juga ternyata dapat membuat energi dalam tubuh meningkat.

Biji pinang yang digunakan sebagai bahan menginang mengandung zat psikoaktif yang dapat memicu tubuh untuk memproduksi hormon adrenalin.

Hormon inilah yang kemudian meningkatkan energi dalam tubuh, membuat tubuh menjadi lebih segar dan juga waspada.

Nginang yang dahulu dipercaya bisa membersihkan mulut ternyata juga penting sebagai filosofi menjaga lisan. Apalagi dewasa ini, saat informasi lebih mudah didapat dan orang-orang mempunyai banyak hal untuk dikomentari.

Menginang juga dapat dijadikan sebagai simbol menjaga lisan dari perkataan yang tidak baik, seperti membicarakan keburukan orang lain, menyebarkan hate speech, atau bahkan memfitnah orang lain yang dapat berujung pada pertengkaran.

Tradisi nginang sebagai warisan nenek moyang sudah banyak ditinggalkan 

 Tradisi Nginang, Mengunyah Sirih sebagai Simbol Menjaga Lisan

(foto: pinterest)

Sayang sekali, tradisi nginang kini semakin ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, khususnya kaum perempuan karena sudah terdapat banyak sekali cemilan atau kudapan lain yang rasanya lebih enak daripada nginang.

Memang sudah banyak ditinggalkan, tapi ternyata masih ada bentuk lain dari nginang di Papua.

Selain untuk dikunyah, di Papua bahan-bahan untuk membuat pinang juga disajikan kepada tamu yang datang berkunjung sebagai wujud penyambutan tamu oleh tuan rumah.

Kemudian di daerah Sumatera, sirih juga biasa digunakan sebagai undangan pernikahan. Biasanya calon pengantin atau yang akan menggelar pernikahan akan membawa sehelai daun sirih ke tempat orang yang akan diundang.

Itulah ulasan tentang tradisi nginang sebagai salah satu bentuk khazanah budaya di Indonesia. Semoga bisa menjadikan kita lebih mengenal warisan nenek moyang bangsa sendiri.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.