inspirasi

Kisah Djainem Moeridjan, Dukun Jawa yang Dikagumi di Belanda

Penulis:   | 

Namanya Djainem Moeridjan, ia adalah seorang dukun di Den Haag, Belanda. Nama tersebut memang menunjukkan bahwa dirinya orang Jawa.

Namun siapa sangka kalau Mak Djainem, begitu ia biasa disapa, ternyata baru menginjakkan kaki di tanah Jawa pada tahun 1988. Saat itu Mak Djainem pertama kali ke Jawa, untuk mencari sejarah bapak ibunya.

Perjalanan hidupnya menarik karena latar belakang orang tuanya dan kiprahnya sebagai dukun yang tak melintasi batas-batas negara.

Baca juga: Dianggap Angker, Segitiga Bermuda Jadi Perairan Paling Berbahaya di Dunia

Kedua orang tua Djainem saling kenal setelah kerja di perkebunan Suriname  

Kisah Djainem Moeridjan Dukun Jawa yang Dikagumi di Belanda

(foto: richfarmer)

Sosok ibu yang melahirkan Djainem adalah orang Jawa yang tinggal di Suriname. Begitu juga ayahnya.

Ibunya bernama Bok Toekijem Pawiroredjo, asalnya dari desa Bondalem, distrik Banjoedono, Boyolali. Sedangkan ayahnya bernama Satirin (yang kemudian diganti Moeridjan), berasal dari Ngadiluwih, Kediri.

Bagaimana mereka bisa tinggal di negara itu? Berawal sejak 15 Oktober 1918, waktu itu keduanya menjadi bagian dari 600 orang penumpang Kapal Karimata yang berlayar dari Jawa menuju Paramaribo, Suriname.

Tanpa informasi jelas soal tujuan kapal itu ke mana akan menuju. para penumpang itu menurut saja karena memang seolah dikondisikan untuk tidak tahu tujuan. Mereka sedang dibawa pindah ke negeri yang jauh untuk bisa bekerja kontrak di perkebunan.

Ibu dan ayah Djainem sebelumnya tidak saling mengenal walau menjadi teman satu kapal (djadji), keduanya baru mengenal dekat setelah bulan bekerja di perkebunan. Mereka kemudian sebagai sesame djadji memutuskan menikah dan membesarkan anaknya.

Dibesarkan di kota Leiding dan mulai belajar perdukunan

Kisah Djainem Moeridjan Dukun Jawa yang Dikagumi di Belanda

(foto: pinterest)

Dari pernikahannya, lahirlah Djainem. Sebenarnya mereka tidak hanya punya satu anak. Bok Toekijem Pawiroredjo sudah pernah menikah sebelumnya dan punya dua anak. Toekijem ditinggal mantan suaminya, sesaat sebelum diangkut ke Suriname.

Setelah menikah beberapa tahun dan habis kontrak kerja, Bok Toekijem Pawiroredjo dan Moeridjan mengembara untuk mencari penghidupan baru.

Mereka menyeberangi sungai, mencari tempat tinggal, dan kalau lapar memakan daun. Uangnya hampir habis di perjalanan itu.

Tanpa disengaja, mereka bertemu dengan seorang djadji, sesama penumpang Kapal Karimata yang kemudian menjadi perantara mereka mendapat tempat tinggal di kota Leiding.

Di situlah, mereka bertemu djadji lain lagi yang bernama Mardi.  Menurut kisah yang dituturkan Mak Djainem sewindu kemudian, Mardi seorang dukun yang aslinya berasal dari Magelang .

Meski dukun Mardi sudah lama tiada, Mak Djainem masih jelas mendeskripsikan hebatnya ilmu Mardi.

Djainem kecil dititipkan ke rumah dukun Mardi. Di sana, selain belajar Djainem bertugas mencuci, menyapu, masak, dan menanam di kebun.

Baca juga: Jejak Suku Banjar yang Jadi Nenek Moyang Orang Madagaskar

Mardi ingin Djainem Moeridjan menjadi penerusnya

Kisah Djainem Moeridjan Dukun Jawa yang Dikagumi di Belanda

(foto: avgustin88)

Melihat potensi pada diri Djainem, Mardi pun mempersiapkan Djainem untuk jadi penerusnya. Djainem mempelajari ilmu perdukunan lebih dalam dari Mardi.

Mardi membekalinya dengan ilmu yang khusus hanya disampaikannya ke orang-orang tertentu. Ini terkait dengan bagaimana nantinya ia sebagai dukun menangani kelahiran, pernikahan, dan kematian. Ia juga sebut ini sebagai 3M: metumanten, dan mati.

Meski Djainem muda belum siap menerapkan ke masyarakat, ilmu yang ia kuasali itu boleh dipakai kapan saja saat sudah waktunya.

“Ketika tiba waktunya nanti kau mau memakainya, kau akan ingat padaku. Tetapi kalau aku sudah mati, kau harus ingat tanggal berapa aku mati dan di mana aku dikubur. Kalau kau mau memakai ilmuku, kau harus berjaga selama 24 jam, dan puasa….” kata Mardi kepada Djainem.

Buka praktik di Belanda dan ingin ada yang melanjutkan perannya

Buka praktik di Belanda dan ingin ada yang melanjutkan perannya

(foto: rbutv)

Kesempatan itu datang di saat Djainem Moeridjan memasuki umur 43 tahun. Saat itu, keponakan perempuan Mak Djainem akan melahirkan, tapi dukunnya tak bisa datang karena sakit flu.

Kakak perempuan dan anaknya itu menangis memohon, tetapi Mak Djainem belum boleh berbuat banyak kalau belum menyelesaikan puasa 24 jam untuk bisa menggunakan ilmu dari Pak Mardi.

Pada tahun 1985 karena gejolak politik dan perang saudara di Suriname, Mak Djainem dan ribuan orang Jawa di Suriname mengungsi ke Belanda. Bahkan berlanjut hingga kini, Mak Djainem masih diterima bahkan dikagumi kalangan masyarakat Indonesia di Belanda.

Ia buka praktik di Den Haag dan juga memenuhi panggilan-panggilan di beberapa kota di usianya yang sudah lebih dari 80 tahun. Di Belanda, Mak Djainem berharap agar ada orang Indonesia yang bisa melanjutkan perannya.

TULIS KOMENTAR

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.